Apakah PMRI?
Tidak banyak
orang yang tahu apalagi paham tentang apa itu PMRI. Kalau tidak tahu dan tidak
paham, bagaimana mungkin mereka akan mengaplikasikannya dalam pembelajaran di
kelas? Mari kita mulai mencoba memahaminya dengan mengetahui sejarah dan latar
belakang munculnya PMRI.
“Realistik”
pada Pendidikan Matematika Realistik (PMR) merujuk pada pendekatan matematika
yang berkembang di Belanda pada awal
tahun 1970an. Tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan pendekatan
teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan Realistic
Mathematics Education (RME). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
menyerap landasan filosofis dan karakteristik RME dengan penyesuaian berbagai
unsur lokal; terutama dalam hal konteks bahasa, sosial dan budaya. PMRI ini
juga dianggap sejalan dengan teori
belajar konstruktivis dan pembelajaran
kontekstual. Jika kedua teori belajar tersebut adalah teori belajar secara
umum, maka PMRI merupakan teori
pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk bidang matematika. Dalam PMRI,
dunia nyata menjadi titik awal untuk pengembangan ide dan konsep matematika
(Hadi, 2005:17). Ini artinya adalah bahwa pembelajaran matematika dengan
pendekatan PMRI harus menggunakan masalah
kontekstual yang ada di sekitar anak-anak dan dekat dengan kehidupan sehari-hari anak serta sesuai dengan pengalaman anak.
Model skematis dari proses
pembelajaran dengan dunia nyata sebagai titik awalnya dan merupakan proses
pengembangan ide-ide dan konsep-konsep disebut matematisasi konseptual oleh De
Lange (dalam Hadi, 2005:19) digambarkan sebagai berikut,
Gambar 1 Matematisasi Konseptual De Lange
Proses pembelajaran matematika yang
menggunakan masalah kontekstual yang dekat dengan lingkungan siswa dan dapat
diamati serta dipahami siswa dengan membayangkannya merupakan aktifitas
matematisasi horisontal. Matematisasi
horisontal menurut Treffets (dalam Heuvel-Panhuizen, 1996:11) adalah proses
ketika siswa mengorganisasikan dan menyelesaikan masalah yang ada disekitar
mereka dalam situasi nyata dengan menggunakan perangkat matematika. Gravemeijer
(1994) menyebut proses matematisasi
horisontal ini sebagai proses penemuan kembali (Reinvention Process) yang
digambarkan dengan skema berikut:
Gambar 2 Reinvention Process Gravemeijer
Dalam matematisasi
horisontal, titik awal siswa adalah masalah kontekstual yang kemudian
diorganisasikan dan diidentifikasi aspek matematikanya. Siswa bebas
mengintepretasi, mendeskripsikan dan menyelesaikan masalah tersebut dengan cara
mereka berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki masing-masing siswa. Siswa
kemungkinan memiliki penyelesaian yang berbeda satu sama lain. Tahap
selanjutnya, dengan atau tanpa bantuan guru, siswa menggunakan matematisasi
vertikal (dengan abstraksi maupun formalisasi) tiba pada tahap pembentukan
konsep.Jika mencapai pembentukan konsep, siswa akandapat mengaplikasikannya
kembali pada masalah kontekstual sehingga memperkuat pemahaman konsep itu
sendiri.
Gravemeijer dan Cobb (2006) mengemukakan bahwa teori
Realistic Mathematics Education (RME) tidak hanya menyediakan prinsip desain
pembelajaran, namun juga berfungsi sebagai kerangka (framework) dalam
menginterpretasikan aktivitas yang dilakukan siswa dalam proses pembelajaran.
Gravemeijer
(1994:90) menyatakan terdapat tiga
prinsip Realistic Mathematics Education (RME), yaitu:
a.
Guided
Reinvention and Progressive Mathematizing
Berdasarkan prinsip pertama ini, siswa
diberi kesempatan untuk mengalami suatu proses yang hampir sama dengan proses
ketika konsep-konsep matematika ditemukan. Konsep reinvention process merupakan
salah satu cara yang dapat digunakan dalam prinsip pertama ini. Siswa didorong
untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan atau
membangun sendiri pengetahuan yang akan diperoleh melalui prosedur penyelesaian
yang serupa. Guru sebaiknya mencari masalah kontekstual yang ada di sekitar
siswa untuk disajikan dan diselesaikan siswa. Masalah kontekstual dipilih dan
disajikan diharapkan mampu menyediakan prosedur penyelesaian yang bervariasi
dan perbedaan penyelesaian ini dapat digunakan sebagai langkah awal proses
matematisasi baik secara horizontal maupun formal.
b.
Didactical
Phenomenology
Prinsip kedua ini menekankan pada
pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika pada
siswa.Didactical phenomenology menyediakan konteks bagi pembelajaran matematika
sehingga kebermaknaan dan kegunaan pembelajaran matematika tercapai.
c.
Self-developed
Models
Prinsip ini berfungsi menjembatani
pengetahuan informal dan pengetahuan matematika formal. Pengetahuan informal
adalah pengetahuan yang didapatkan siswa dari kehidupan disekitarnya dan
bersifat nyata (concrete) sedangkan pengetahuan matematika formal adalah
pengetahuan matematika yang lebih abstrak. Gravemeijer (1994:100) menyatakan:
In
realistic mathematics education we can distinguish four levels: situations,
model of, model for, and formal mathematics.
De Lange menyebutkan istilah
matematisasi horizontal sebagai matematika informal dan matematisasi vertikal
sebagai matematika formal.Siswa mengembangkan model sendiri ketika mereka
memecahkan masalah-masalah kontekstual.Awalnya, model ini adalah model dari
situasi yang dekat dengan siswa. Kemudian melalui proses generalisasi dan formalisasi,
model ini diarahkan menuju model matematika formal.
Zoltan Dienes (dalam Reys, Lindquist,
Lambdin, dan Smith, 2009:23) menyatakan:
Generalization:
Patterns, regularities, and commonalities are observed and abstracted across
different models. These structural relationships are independent of the
embodiments.
Formalization:
Provides an ordering of the mathematics. Fundamental rules and properties are
recognized as structure of the system evolves.
Dengan kata lain, proses
generalisasi dan formalisasi adalah suatu proses dimana siswa mengamati
hubungan, mengenali pola, dan membuat abstraksi dari masalah kontekstual yang
disajikan.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut, PMR kemudian dioperasionalkan kedalam lima karakteristik (Gravemeijer, 1994:114). Kelima karakteristik tersebut dijabarkan sebagai berikut:
a.
Phenomenological
exploration
Karakteristik yang pertama adalah
penggunaan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks dalam
hal ini tidak hanya berupa penggunaan masalah dunia nyata di sekitar siswa
tetapi juga dapat berupa penggunaan alat peraga, permainan atau situasi lain
yang dapat dibayangkan dalam pikiran siswa. Siswa terlibat secara aktif dalam
melakukan eksplorasi dari penggunaan konteks ini.Hasil eksplorasi selain
bertujuan untuk menemukan jawaban akhir dari permasalahan yang diberikan, juga
untuk mengembangkan strategi penyelesaian yang beragam sesuai dengan
pengetahuan awal setiap siswa.
b.
Bridging
by vertical instruments
Karakteristik yang kedua adalah
tentang penggunaan model dalam pembelajaran matematika. Model disini tidak
merujuk pada alat peraga, melainkan suatu alat dalam proses matematisasi baik
matematisasi vertikal ataupun matematisasi horisontal. Model ini lebih
difungsikan untuk menjembatani level pemahaman yang satu ke level pemahaman
yang lain. Proses matematisasi horizontal diawali dengan pengidentifikasian
konsep matematika berdasarkan keteraturan dan hubungan dari yang ditemukan
dalam skematisasi dan visualisasi masalah. Kemudian model matematika yang
dihasilkan dari proses matematisasi horizontal dijadikan landasan dalam
mengembangkan konsep matematika yang lebih formal dalam proses matematisasi
vertikal.
Untuk memahamai suatu konsep
matematika, setiap siswa melewati proses permodelan yang panjang, yang dawali dengan
penggunaan konteks menuju hal yang abstrak. Hal ini sesuai dengan penyajian
pengetahuan yang disarankan oleh beberapa ilmuwan. Bruner (dalam Reys,
Lindquist, Lambdin, dan Smith, 2009:23) menyebutkan ada tiga tahapan yang
dilalui siswa dalam membangun pengetahuannya, yaitu tahap enaktif, ikonik, dan
simbolik.
- Tahap enaktif yaitu tahapan ketika siswa secara langsung terlibat dalam kegiatan-kegiatan manipulatif, konstruktif dengan obyek nyata di dunia nyata. Obyek nyata diamati sifat-sifat atau pola matematisnya.
- Tahap ikonik yaitu tahapan ketika siswa melakukan aktifitas mental dengan gambar atau informasi verbal berdasarkan dunia nyata. Dalam hal ini, siswa telah mampu memahami sesuatu melalui gambar dan visualisasi verbal.
- Tahap simbolik yaitu tahapan dimana siswa sudah tidak memerlukan lagi obyek konkrit karena siswa telah dapat memanipulasi simbol-simbol yang menyatakan konsep yang dihasilkan dari dua tahap sebelumnya.
c. Student contribution
Ketika proses pembelajaran
berlangsung, siswa diberikan kesempatan untuk mengonstruksi dan memproduksi ide
dan strateginya dalam menyelesaikan suatu masalah.Hasil dari konstruksi siswa
tersebut kemudian digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika.
Hasil konstruksi dan produksi siswa dapat didiskusikan dengan seluruh siswa di
kelas dalam sesi diskusi kelas.
d.
Interactivity
Proses belajar akan lebih bermakna
ketika siswa saling berinteraksi baik dengan siswa lain, guru maupun perangkat
pembelajaran. Dari interaksi tersebut, siswa mendapatkan manfaat positif
terutama ketika siswa mengomunikasikan hasil kerja dan ide yang mereka miliki
dalam diskusi kelas maupun diskusi kelompok kecil.Bentuk-bentuk interaksi
seperti penjelasan, pembenaran, penyanggahan, pertanyaan ataupun refleksi
digunakan agar siswa mendapatkan konsep matematika formal dari bentuk-bentuk
matematika informal hasil konstruksi siswa itu sendiri.
e.
Intertwining
Konsep-konsep dalam matematika
tidak bersifat parsial melainkan saling terkait satu dengan yang lain.Dalam
pembahasan suatu topik, biasanya memuat beberapa konsep matematika yang saling
berkaitan. Keterkaitan ini harus lebih dieksplorasi untuk mengenalkan dan
membangun lebih dari satu konsep dalam waktu yang bersamaan.Pendidikan
Matematika Realistik (PMR) menempatkan keterkaitan ini sebagai hal yang harus
dipertimbangkan dalam proses pembelajaran.
Dengan
memperhatikan prinsip dan karakteristik PMR yang telah dipaparkan, dapat
disusun langkah-langkah pembelajaran yang akan digunakan dalam merancang
aktivitas dan asesmen yang akan dilakukan siswa dalam penelitian ini.
Adapun langkah-langkah kegiatan pembelajaran dengan pendekatan PMR sebagai berikut (Hobri, 2005:102)
Adapun langkah-langkah kegiatan pembelajaran dengan pendekatan PMR sebagai berikut (Hobri, 2005:102)
a. Guru memberikan masalah (soal) kontekstual
dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
b. Guru meminta siswa untuk
menjelaskan/mendeskripsikan masalah kontekstual yang diberikan kepada siswa
dengan bahasa mereka sendiri.
c. Siswa secara individual ataupun kelompok
menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri.
d. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
siswa
e. Berdasarkan hasil diskusi, guru mengarahkan
siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur.
Komentar
Posting Komentar